Minggu, 14 September 2008

IHWAL MENOLAK ROKOK DALAM PERSPEKTIF ETIS

Ihwal rokok menjadi isu yang cukup hangat belakangan ini. Hal ini karena muncul kabar Majelis Ulama Indonesia akan mengeluarkan fatwa haram menyusul desakan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA). Menurut KNPA merokok telah membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa anak-anak dan remaja maupun orang dewasa pada umumnya (Bernas Jogja, 19/08/2008). Sehingga, larangan untuk menghisap rokok adalah pilihan yang paling rasional.
Di Indonesia, setiap tahun sekitar 427 ribu orang meninggal akibat rokok. Angka ini setara dengan 22,5 persen total kematian di Indonesia. Rokok juga sedang mengancam generasi anak-anak dan remaja. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, sedikitnya, 60 persen anak di bawah umur di negeri ini kenal rokok dan 31 persen di antaranya merokok di bawah usia 10 tahun (Koran Tempo, 16/08/2008). Ironisnya, kalangan anak dan remaja justru menjadi bidikan utama industri rokok di Indonesia dan bahkan di dunia.
DUA TEORI ETIKA
Dengan demikian, ihwal rokok menjadi masalah yang amat serius. Sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa merokok sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa manusia. Tetapi sebagai masyarakat yang baik dan bijak apakah kita akan secara mentah-mentah ‘menelan’ pelarangan tersebut? Tentu saja tidak, kita perlu melakukan pertimbangan-pertimbangan etis tentang larangan ini. Sebab pelarangan merokok juga memiliki ekses yang negatif seperti berpeluang melahirkan pengangguran baru akibat efisiensi tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan rokok. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji ihwal larangan merokok dalam dua perspektif etis.
Menurut perspektif etis, setidaknya ada dua teori yang dapat dijadikan sebagai pisau bedah berkaitan dengan perilaku merokok. Dua perspektif etis tersebut adalah etika deontologis dan etika teleologi.
Pertama, etika deontologi. Kata ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Maka dari itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika ini, suatu tindakan dianggap baik bukan berdasarkan tujuan maupun dampak dari perbuatan itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri.
Dengan bahasa lain, perbuatan tersebut bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Salah satu tokoh terkenal dari teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804) seorang filosof Jerman abad delapan belas.
Jadi, menurut etika deontologi menolak rokok melalui fatwa haram atau kebijakan apapun adalah suatu tindakan yang baik. Karena merokok adalah perbuatan yang buruk, seperti halnya didasarkan kepada data dan fakta yang telah dipaparkan di atas. Menurut akal sehat pun, merokok adalah perbuatan yang sangat buruk karena dapat membahayakan kesehatan seseorang.
Ukuran baik atau buruk ihwal pelarangan merokok tidak didasarkan kepada dampak negatif yang dapat muncul akibat pelarangan tersebut. Meskipun pelarangan merokok dapat berdampak kepada lahirnya kelompok miskin baru karena lahirnya pengangguran, hal ini tidak menjadi pertimbangan baik atau buruk pelarangan tersebut. Ini sama artinya dengan menilai bahwa mendirikan perusahaan rokok itu baik karena memang suatu aktivitas bisnis itu adalah baik. Tidak perduli apakah distribusi rokok yang tidak terbatas pada kelompok usia, dapat mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak ataupun remaja.
Kedua, etika teleologi. Berlainan dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang ditumbulkannya baik dan berguna. Oleh karena itu, etika teleologi juga diidentikkan dengan teori utilitarian yakni baik buruknya sesuatu berdasarkan berguna atau tidaknya.
Menurut etika teleologi, baik atau buruk pelarangan merokok diukur dari dampak yang ditimbulkan dari aksi penolakan tersebut. Semua orang tentu mengetahui bahwa pelarangan merokok melalui fatwa haram dari MUI ataupun berbagai kebijakan pemerintah lainnya dapat berdampak buruk terhadap kondisi sosial masyarakat. Pelarangan merokok dapat mengakibatkan pembatasan dan pengurangan produksi rokok dari suatu perusahaan rokok. Ketika produksi rokok dibatasi, otomatis perusahaan akan menerapkan langkah untuk melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Artinya, langkah perusahaan ini akan melahirkan pengangguran baru di kalangan masyarakat.
Lahirnya pengangguran akibat efisiensi yang dilakukan perusahaan akibat pelarangan merokok tentu saja menambah suram kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Perlu dicatat bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sangat tidak menggembirakan. Bank Dunia melaporkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2007 sebanyak 105,3 juta jiwa atau 45,2 persen dari total penduduk Indonesia sebanyak 232,9 juta jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik menyebut angka kemiskinan sebesar 37,2 juta jiwa. Dengan adanya angka kemiskinan yang sangat tinggi ini tentu kita tidak ingin menambah jumlahnya dengan menciptakan pengangguran-pengangguran baru.
Andaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia tidak seburuk ini, tentu lahirnya pengangguran baru tidak menjadi masalah. Tapi faktanya, kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sangat menghawatirkan ditunjukkan oleh beberapa data di atas maupun realitas yang ada di masyarakat.
Dari sini penulis membuat suatu kesimpulan bahwa pelarangan merokok sangat tidak relevan apabila dipandang melalui perspektif etika deontologi. Maksud hati menyelamatkan anak-anak dan remaja, justru menimbulkan kesengsaraan baru akibat munculnya pengangguran di masyarakat. Karena itu, penulis cenderung memilih menggunakan etika teleologis dalam memandang upaya pelarangan merokok.
Namun demikian, bukan berarti penulis menolak ihwal pelarangan merokok. Sebagaimana perspektif etika teleologi, pelarangan merokok tetap dapat dianggap baik, dengan catatan pihak-pihak tertentu (misalnya pemerintah) secara serius melakukan tindakan-tindakan antisipatif yang memadai terkait adanya peluang lahirnya pengangguran baru akibat pelarangan tersebut. Sehingga, dengan langkah antisipatif tersebut pelarangan merokok tetap dianggap baik karena tidak menimbulkan dampak yang negatif.

(* Miftachul Huda, Mahasiswa Konsentrasi Social Work Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DILEMA KEBIJAKAN SOSIAL

Kebijakan sosial yang ditujukan untuk membangun kesejahteraan sosial masyarakat, seringkali dihadapkan kepada dilema etis. Salah satu dilema, muncul ketika distribusi kesejahteraan harus dilakukan secara luas, padahal sumber yang tersedia sangat terbatas. Kesejahteraan tidak didistribusikan secara merata berarti melanggar kewajiban, sebaliknya mendistribusikan kesejahteraan secara merata tidak bisa dilakukan secara maksimal karena adanya sumber yang terbatas.
Dilema seperti ini sering terjadi di mana saja, terutama bagi negara-negara berkembang yang masyarakatnya belum mencapai tingkat kesejahteraan secara memadai. Indonesia adalah salah satu contohnya. Sayangnya, dilema tersebut tampaknya juga dialami oleh bangsa Indonesia seperti ditunjukkan dalam anggaran sosial tahun 2009.
Menurut Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2009 yang dibacakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan wakil Rakyat beberapa waktu yang lalu, beberapa anggaran program sosial mengalami kenaikan. Contohnya, pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri dan pensiun dengan menambah alokasi anggaran belanja pegawai menjadi Rp 143,8 triliun –naik Rp 20,2 triliun dibanding tahun ini. Dan yang lebih mengejutkan, anggaran pendidikan melonjak tajam dari Rp 189 triliun tahun ini, menjadi Rp 224,4 triliun tahun depan. “Saya pun terkaget-kaget dan hampir pingsan,” kata Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo (Koran Tempo, 15/08/2008).
Sikap pemerintah untuk menaikkan alokasi anggaran untuk urusan pegawai negeri, pensiun, dan pendidikan tersebut adalah sebagai bentuk pemerataan distribusi kesejahteraan. Dengan anggaran yang tinggi, berarti kesejahteraan dapat didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat dibandingkan sebelumnya. Tetapi sayangnya, akibat rencana kenaikan anggaran kesejahteraan ini, pemerintah mengalami defisit. Defisit anggaran membengkak dari 1,5 persen menjadi 1,9 persen atau sekitar Rp 20 triliun. Meskipun anggaran program sosial bukan satu-satunya penyebab defisit, tetapi setidaknya turut andil terhadap kondisi defisit tersebut. Terjadinya defisit anggaran ini menandakan adanya keterbatasan sumber (dalam hal ini anggaran) kesejahteraan yang dimiliki oleh pemerintah.
Menghadapi Dilema
Dilema keadilan seperti yang terjadi di atas tentu sebagai kondisi yang tidak menguntungkan. Alih-alih kesejahteraan dapat didistribusikan secara merata dan adil, ekonomi negara justru mengalami guncangan. Tetapi memang dalam kondisi dilematis seperti itu, siapapun akan merasa kebingunan untuk mengambil kebijakan yang tepat.
Namun demikian, tampaknya cukup menarik untuk mengungkap suatu strategi bagaimana menghadapi dilema keadilan terutama dalam konteks keterbatasan sumber seperti yang ditunjukkan dalam kasus di atas. Beberapa filosof mempunyai pemikiran tentang apa yang disebut distributive justice (keadilan distributif). Menurut teori ini, adanya sumber kesejahteraan yang terbatas pada dasarnya dapat didistribusikan berdasarkan empat kriteria, yakni persamaan (equality), kebutuhan (need), kompensasi, dan kontribusi.
Pertama, kesejahteraan didistribusikan secara merata kepada siapa saja karena setiap orang pada dasarnya mempunyai hak yang sama untuk hidup sejahteran. Terkait hal ini, John Rawls (1971:302) dalam karyanya yang termasyhur, A Theory of Justice mengungkapkan setiap orang memiliki hak yang sama untuk dapat hidup sejahtera. Sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa untuk kesejahteraan seluas-luasnya dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadvantage groups). Dengan demikian, menurut Rawls pemerintah harus berperan secara adil mendistribusikan kesejahteraan secara merata ke seluruh warga negara karena kesejahteraan pada dasarnya adalah hak bagi setiap orang.
Ketika sumber yang tersedia terbatas, namun harus didistribusikan secara merata tentu mempunyai konsekuensi sumber yang terbagi tidak dalam jumlah yang proporsional. Seharusnya suatu kelompok masyarakat bisa memperoleh bantuan besar, namun karena dibagikan secara merata masing-masing hanya memperoleh sedikit bagian. Cara seperti ini sering diterapkan di Indonesia misalnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibagi-bagi secara merata dengan jumlah yang lebih sedikit sehingga orang miskin yang tidak termasuk dalam daftar penerima ikut menerima BLT.
Kedua, distribusi sumber yang terbatas dapat juga didasarkan kepada tingkatan prioritas kebutuhan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak dan primer lebih didahulukan daripada kebutuhan yang kurang mendesak dan bersifat skunder. Pemerintah ada baiknya membuat ukuran, mana kebutuhan yang dinilai lebih mendesak dan mana yang tidak ketika menerapkan kebijakan sosial dengan sumber yang terbatas. Misalnya, pembangunan gedung sekolah yang roboh lebih didahulukan daripada menghabiskan anggaran untuk belanja kebutuhan peralatan kantor.
Pemangkasan anggaran di departeman-departeman yang dinilai kurang penting dan tidak mendesak sehingga bisa ditunda pada dasarnya dapat dilakukan pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan sosial yang sifatnya lebih mendesak seperti bidang pendidikan dapat didahulukan.
Ketiga, adanya sumber yang terbatas dapat dinyatakan adil ketika sistem distribusi berdasarkan kepada skema kompensasi. Kesejahteraan lebih diutamakan didistribusikan kepada kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang selama ini menjadi korban penindasan dan ketidakadilan sosial dibandingkan kelompok yang lain. Kelompok masyarakat yang kurang beruntung ini menjadi prioritas dari penerima program kesejahteraan sosial. Misalnya, orang miskin di pemukiman kumuh, para pengamen dan gelandangan, orang miskin di daerah pedalaman, dan lain sebagainya.
Keempat, kesejahteraan dari sumber yang terbatas dapat juga didistribusikan berdasarkan skema kontribusi. Sumber kesejahteraan yang terbatas pada prinsipnya dapat diperoleh oleh siapa saja tetapi bagi yang mampu membayarnya. Sistem seperti ini tentu sangat cocok diterapkan dalam konteks masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi cukup memadai. Skema kontribusi dijadikan sebagai salah satu tolak ukur keadilan dalam mendistribusikan sumber yang terbatas.
Akhirnya, dalam ketersediaan sumber yang terbatas namun tuntutan distribusi yang melampaui batas kebijakan sosial sejatinya dapat mendistribusikan sumber berdasarkan salah satu dari empat kriteria di atas. Dengan demikian, yang disebut adil pada dasarnya tidak selamanya semua orang memperoleh bantuan. Sebab, keadilan pendistribusian sumber yang terbatas dapat ditentukan secara sah berdasarkan empat kriteria yang dijelaskan di atas. ©

(* Miftachul Huda Pengamat Kebijakan Sosial Mahasiswa Program Pascasarjana Konsentrasi Social Work UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.